Kasus PHK Karyawan Securicor (238 Orang)
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah berakhirnya hubungan kerja sama antara karyawan dengan perusahaan, baik karena ketentuan yang telah disepakati, atau mungkin berakhir di tengah karier . Mendengar istilah PHK, terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan pekerja. Oleh sebab itu, selama ini singkatan ini memiliki arti yang negative dan menjadi momok menakutkan bagi para pekerja.
Menurut Undang-undang RI No.13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 25, pemutusan hubungan
kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu
yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau
buruh dan pengusaha.
Setiap
individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebagai manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang
bermartabat dan layak. Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk
selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja pada berbagai sektor
kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh.
Menjadi
persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di
tengah-tengah krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran
dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih diperparah lagi dengan
menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering
kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi
budaya dikalangan Perusahaan. Menjadi fakta bagi karyawan buruh
securicor yang telah bekerja puluhan tahun menggantungkan nasibnya akan
tetapi telah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor
yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan
pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka
terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor
yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden
Direktur PT Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman
bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi
imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor
cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya
merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch
manager Surabaya.
Pada
tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan
pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak
ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di
atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan
tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH,
selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada
kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan
ketidakjelasan status
mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP
Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan
instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari
gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan
ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT.
Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI)
dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur
Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock,
sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI
Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan
putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta dari P4P
- Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini;
- Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
- Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini;
Akan
tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian
perusahaan melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa
hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H. memberikan kejelasan bahwa
perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan
alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja
sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap
mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya
rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada
bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah
mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun
mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa
hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan
dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan
bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar
pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata
perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang
dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:
Dasar Tuntutan
- Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
- Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat
- Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan
kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang
telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui
dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum.
Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah
berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi
gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak
perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan
kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.
David Oliver Sitorus, S.H., Ali Imron, S.H.
Diunduh dari: http://www.pbhi.or.id2. MATERI
Menurut Undang
– Undang No. 13 tahun 2003 pasal 25 tentang ketenagakerjaan, Pemutusan Hak
Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Menurut
pasal 61 Undang – Undang No. 13 tahun 2003 mengenai tenaga kerja, perjanjian
kerja dapat berakhir apabila :
- Pekerja meninggal dunia
- Jangka waktu kontak kerja telah berakhiR
- Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
- Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
3. ANALISIS
Dari kasus di atas, pekerja lebih menyukai untuk merespon secara positif apabila diberikan feedback yang kurang baik mengenai kinerjanya lewat proses penilaian yang jujur dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi tersebut yaitu; outcome fairness, procedural juctice, dan, interactional justice.
Outcome fairness berarti
menilai bahwa seseorang menghargai hasil yang diterimanya tergantung
dari hasil yang diterima pula oleh orang lain yang oleh orang itu mudah
diidentifikasi. Lebih jelas lagi, situasi dimana seseorang kehilangan
pekerjaannya sementara orang lain tidak sangat kondusif pada persepsi
mengenai adanya ketidakjujuran hasil.
Sementara outcome fairness lebih berfokus kepada hasil, procedural and interactional justice lebih berfokus pada prosesnya. Procedural justice
secara spesifik berfokus pada metode yang digunakan untuk menentukan
hasil yang diterima. Berikut ini adalah tabel enam kunci prinsip yang
menentukan telah melakukan apakah seseorang telah sesuai melakukan
secara jujur sesuai dengan prosedur.
Biasanya juga perusahaan menuntut kita untuk bersinergi, mampu bekerja sama untuk melakukan setiap kegiatan dalam membangun perusahaan yang baik. Akan tetapi itu semua tidak di imbangi oleh timbal balik perusahaan terhadap karyawan yang ada. Masih banyak dari semua karyawan yang mungkin dengan gaji yang di berikan itu tidak sebanding dengan apa yang telah di kerjakannya dan telah mampu berkontribusi untuk perusahaan. Dan dari semua itu lah sebaiknya perusahaan dapat menilai secara subyektif dan adil untuk karyawannya.
4. REFERENSI
http://gitacintanyawilis.blogspot.co.id/2010/05/contoh-analisa-kasus-phk.html
https://atikanafridayanti.wordpress.com/2013/11/21/pemutusan-hubungan-kerja-phk/
Gopher Casino and Resort to be Powered by NextGen
BalasHapusGaming operator NextGen 창원 출장샵 said it was planning 나주 출장안마 to build an integrated gaming solution in the 세종특별자치 출장안마 future. The 의정부 출장샵 company said 군산 출장마사지 the goal is to provide