Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi
menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban
bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Maka negara bukan saja
menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban
memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, negara
berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada
perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam
tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan
untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di
bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.
Negara juga menjamin
tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab
pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak
berhak untuk tetap memerintah.
Jaminan Hak Pribadi
Jaminan pertama hak-hak pribadi
dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan
memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS.
24: 27-28)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu
Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa
orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau
sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga
mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu
membayar denda.
Jika mencari aib orang dilarang
kepada individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak
dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah
saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia,
maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin
menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa
rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya
menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan
kalian."
Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus
wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama
berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap
kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap
kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil
dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.
Perbuatan mencari-cari kesalahan
sudah dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki
gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya
mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama
menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya secara
nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan
bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini
termasuk tajassus yang dilarang agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar